SEJARAH INDONESIA: SEJARAH.3 -->
©ìüñk Wãñã®ã
Ciunkwanara

SEJARAH.3

Aceh, Soekarno, dan Megawati
”Khusus kepada saudara-saudaraku di Aceh, bersabarlah. Bila kelakCut Nya’ memimpin negeri ini, tak akan saya biarkan setetes pundarah rakyat menyentuh Tanah Rencong yang begitu besar jasanyadalam menjadikan Indonesia merdeka. Kepada kalian saya akanberikan cinta saya, saya akan berikan hasil Arun-mu, agar rakyatdapat menikmati betapa indahnya Serambi Makkah bila dibangundengan cinta dan tanggungjawab antarsesama warga bangsa, bangsaIndonesia!”
Pidato itu disampaikan Megawati Soekarnoputri –saat menjabat wakilpresiden– dengan menangis terisak-isak pada tanggal 29 Juli 1999,disaksikan jutaan rakyat Indonesia karena disiarkan langsung oleh televisi nasional. Bagi rakyatAceh, janji yang diucapkan oleh Megawati sambil menangis terisak- isak bukanlah Hal yang baru. Karena pada saat awal kemerdekaan, tepatnya 17 Juni1948, di Banda Aceh, ayah Megawati, Presiden Soekarno, juga menangis terisak-isak di depan Tgk Muhammad Daud Beureueh.
Disaksikan sejumlah tokoh dan pedagangAceh, Soekarno berkata kepada Daud Beureueh,”Kanda tidak percayapadaku? Buat apa aku menjadi Presiden kalau aku tidak dipercaya?”Saat itu, Daud Beureueh selaku Gubernur Militer Aceh, menyodorkankepada Soekarno konsep diberlakukannya syariat Islam di Aceh, jika kelak penjajah Belanda terusir dari bumi Indonesia.
Soekarno setuju, tetapi menolakmembubuhkan tandatangannya. Setelah beberapa kali didesak olehAbu Beureueh (sapaan Tgk Muh Daud Beureueh), akhirnya keluarlahtangisan yang terkenal itu dari Sang Presiden, sehingga Abu Beureuehtidak sampai hati untuk mendesak Soekarno membubuhkantandantangannya pada konsep yang telah disodorkan.
Tetapi, seperti tercatat dalam sejarah, setelah Belanda terusir,Soekarno bukan menepati janjinya untuk memberlakukan syariatIslam di Aceh. Malah, pada tahun 1950, melalui Perppu No 5/1950,Aceh dilebur ke dalam Provinsi Sumatera Utara. Hal ini tentumenyakitkan hati rakyat Aceh yang telah berjuang mempertahankankemerdekaan RI dengan derai air mata, darah, dan nyawa. Ibarat airsusu dibalas dengan air tuba!
Tidak perlu heran jika akhirnya rakyat Aceh melawan PemerintahanSoekarno dengan bergabung dalam gerakan DI/TII. Dan sejarahkembali membuktikan, perlawanan DI/TII di Aceh tidak dapatditaklukkan dengan senjata. Padahal DI/TII di Jawa Barat danSulawesi Selatan telah dapat dikalahkan. Akhirnya, melalui Misi Hardi(Mr Hardi, Wakil Perdana Menteri I) pada 25 Mei 1959, dilakukan perundingan. Hasilnya, Aceh kembali menjadi provinsi tersendiri dandiberikan keistimewaan sehingga disebut Daerah Istimewa Aceh.Namun dalam praktiknya, keistimewaan itu sama sekali tidak. Kembalihati rakyat Aceh dilukai.
Apalagi, sejak ditemukannya ladang gas Arun pada tahun 1974, samasekali rakyat Aceh tidak merasakan manfaatnya. Megawati, dalampidatonya tadi, berjanji akan mengembalikan hasil gas Arun kepadarakyat Aceh. Kenyataannya? Jauh panggang dari api. Setelah Megawatimenjadi Presiden RI, jangankan dikembalikan hasilnya, malah gasArun seluruhnya diekspor keluar negeri demi mendatangkan devisanegara. Akibatnya, pabrik pupuk yang ada di Aceh yakni ASEAN AcehFertilizer (AAF) dan Pupuk Iskandar Muda (PIM) terpaksa berhentiberoperasi. Jika akhirnya gas Arun seluruhnya dialokasikan keluarnegeri, untuk apa pemerintah membangun pabrik pupuk baru di Acehyang bernama PIM 2?
Bukankah PIM 2 menjadi proyek mubazir yang akhirnya memberatkankeuangan negara karena pabrik dibangun dengan pinjaman luarnegeri? Masalah gas Arun belum seberapa. Yang lebih menyakitkanlagi, janji yang diucapkan Megawati sebelum dirinya menjadi PresidenRI. Janji ”_bila kelak Cut Nya’ memimpin negeri ini, tak akan mengalirsetetes pun darah rakyat Aceh” embali dilanggarnya sendiri denganmenggelar operasi militer untuk menggantikan Daerah Operasi Militer(DOM). Di masa darurat militer dan darurat sipil itu, tidak diketahuidengan pasti berapa banyak darah rakyat sipil Aceh tidak berdosayang tumpah di bumi Serambi Makkah; berapa nyawa yang hilangpercuma; dan berapa banyak harta benda yang terkuras akibat konfliksenjata yang berkepanjangan antara TNI dan Gerakan Aceh Merdeka(GAM).
Pemerintahan Megawati dapat mengatakan ini adalah ekses atau risikodari darurat militer dan darurat sipil. Tapi dia lupa dengan janjinyasendiri, apalagi dia menyebut dirinya Cut Nya’ ketika mengucapkanjanji itu. Seolah menggambarkan dia seperti pahlawan yang sangatdihormati oleh rakyat Aceh, Cut Nya’ Dhien. Ternyata sejarah berbicaralain. Tidak mengherankan suara PDIP pada Pemilu 2004 lalu di Acehmenurun drastis. Rakyat Aceh juga lebih memilih Amien Rais danSusilo Bambang Yudhoyono dibandingkan Megawati pada pemilupresiden (pilpres) lalu.
Kerancuan logika PDIP Kini, setelah Susilo Bambang Yudhoyono-JusufKalla memerintah dan memutuskan membuka kembali perundingandengan GAM di Helsinki –agar konflik bersenjata yang sudah hampirberusia 30 tahun bisa dihentikan – muncul reaksi penolakan dari PDIPlewat berbagai pernyataan di media massa, baik resmi maupun tidakresmi.
Berbagai argumen dikemukakan, di antaranya, mengapa perundingandilakukan di luar negeri sehingga terjadi internasionalisasi masalahAceh, padahal persoalan Aceh adalah urusan dalam negeri; GAMadalah pemberontak kenapa tidak ditumpas habis saja; MoU diHelsinki adalah perjanjian kesepakatan antara pemerintah RI denganpetinggi GAM yang berkewarganegaraan asing dan dilakukan di luarnegeri, sehingga merupakan perjanjian internasional yang butuhpersetujuan DPR; Isi MOU di Helsinki yang mengakomodir keinginanGAM untuk membentuk parpol lokal di Aceh akan memicu daerah lainmenuntut hal yang sama dan akan menimbulkan gerakan separatisyang berujung disintegrasi Indonesia.
Dari argumen di atas, terlihat ketidakkosistenan dan kerancuan logikayang dikembangkan PDIP dalam melihat perundingan Helsinki.Dikatakan perlu persetujuan lembaga DPR karena MoU dengan GAMadalah perjanjian internasional, padahal sejak awal PDIP menolakinternasionalisasi masalah Aceh. Bukankah dengan demikian yangmenginternasionalisasi Aceh adalah PDIP sendiri? Di mana pun didunia ini, setiap perundingan selalu di luar negeri. Karena yangberunding adalah pemberontak dan pemerintahan yang sah. Bisa kitalihat kasus Moro di Filipina yang berunding di negara lain dan selaluada mediator. Bahkan Indonesia pernah menjadi mediator perundingantersebut.
Dengan kenyataan lima juru runding GAM yang berada di Acehditangkap aparat sewaktu kesepakatan CoHA dulu gagal, tentupetinggi GAM akan berpikir seribu kali bila perundingan dilakukan diIndonesia, apalagi tanpa mediator yang netral. Sejak GAMdiproklamirkan pada tahun 1976, Pemerintah RI selalu berusahamenumpas habis gerakan tersebut lewat berbagai operasi militer.Kenyataannya, setelah hampir 30 tahun GAM masih eksis, bahkanmakin solid.
Panglima perang GAM boleh terbunuh tetapi dengan segera timbulpenggantinya. Contohnya Panglima GAM, Tgk Abdullah Syafii,digantikan oleh Muzakir Manaf. Upaya pemerintah untuk menyeretHasan Tiro dan kawan-kawan sebagai petinggi GAM di Swedia ke mejahijau, sampai saat ini tak membuahkan hasil. Memang, pilihanberunding dengan GAM harus diambil oleh Pemerintah RI untukmenyelesaikan masalah Aceh secara permanen. Apalagi musibahtsunami yang merenggut ratusan ribu jiwa rakyat Aceh belum hilangdari ingatan kita. Itu menjadi hikmah bersama bahwa kekuasaanmanusia tidak berarti apa-apa dibandingkan kekuasaan Allah SWT.
Soekarno melakukan hal sama Soekarno pun, karena tidak berhasilmemadamkan gerakan DI/TII di Aceh, mengutus Mr Hardi untukberunding, dan akhirnya menerima sebagian tuntutan Abu Beureuehwaktu itu. Ini juga menjawab pertanyaan petinggi PDIP mengapa yang
diutus ke Helsinki pejabat setingkat menteri, toh dulu pun Soekarnomelakukan hal yang sama. Menyangkut parpol Lokal, inipun bukan halyang aneh. Mengingat saat Soekarno berkuasa, banyak parpol lokalyang mengikuti Pemilu 1955. Parpol lokal tersebut tidak ada yangmenyebabkan timbulnya gerakan separatis.
Sejarah memperlihatkan munculnya gerakan separatis di Indonesiabukan disebabkan oleh parpol lokal, melainkan karena ketidakadilanantara pusat dan daerah. Bahkan, melihat ketidakpekaan anggota DPRsaat ini –yang menuntut kenaikan gaji dan melancong ke luar negerisaat rakyat menderita– bukan tidak mungkin akan membuat rakyatmuak pada partai yang ada. Sehingga mereka akan menuntutdiperkenankannya partai lokal yang mewakili aspirasi rakyat di daerahuntuk mengikuti pemilu. Penolakan parpol nasional mengakomodirparpol lokal, sebenarnya bukan terletak ada masalah disintegrasi. Tapilebih dikarenakan parpol nasional seperti PDIP takut kehilanganpopularitasnya di mata rakyat.
Pascaperundingan
Senin, 15 Agustus 2005, adalah hari yang sangat bersejarah bagibangsa Indonesia, khususnya rakyat Aceh, yang telah lamamendambakan kedamaian di Serambi Makkah, Karena MoU AcehDamai akhirnya ditandatangani oleh Pemerintah RI dengan GAM diHelsinki, Finlandia. Insya Allah, dengan adanya MoU Aceh Damai, usaisudah konflik bersenjata di Aceh yang telah berusia lebih seperempatabad. Kemudian, segala aspirasi rakyat Aceh dapat disampaikan dalamsuasana terbuka, demokratis, dan damai.
Meskipun demikian, kita tidak boleh terlalu optimistis. Karena jalanpanjang nan terjal telah menghadang di depan mata. PelaksanaanMoU Aceh Damai di lapangan, adalah titik krusial yang harus menjadiperhatian serius kedua belah pihak, baik GAM maupun pemerintah.Walau pun minoritas, GAM masih mempunyai faksi garis keras yangmenentang MoU tersebut. Termasuk dalam kelompok ini kaum ultranasionalis, pedagang senjata yang oportunistik, maupun para kriminalyang selama ini mengambil kesempatan dengan mengatasnamakantentara GAM atau TNI.
Mengandalkan Aceh Monitoring Mission (AMM) sebagai pihakpemantau pelaksanaan kesepakatan damai saja tidak lah cukup.Karena area konflik di Aceh yang cukup luas dan setiap saatmemungkinkan
setiap
orang
ataupun
kelompok
mengambilkesempatan untuk kepentingan kelompoknya. Apalagi anggota AMMwalaupun netral karena berasal dari negara asing, tidak menguasaimedan konflik yang sesungguhnya. Karena itu, butuh dukungansepenuh hati dari kedua belah pihak yang bertikai selama ini untukturut membantu tugas AMM dan kerelaan hati untuk menerima
hukuman, apabila ada anggota ataupun oknum GAM maupun TNI yang
melakukan kesalahan.
Memang agak sulit mengharapkan rasa saling percaya dapat tumbuhdalam sekejap, mengingat sebelumnya kedua belah pihak telahbertikai cukup lama. Tapi kalau diniatkan sungguh-sungguh, insyaAllah akan berhasil. Sebaliknya, bila pelaksanaan kesepakatan damaihanya setengah hati, bukan saja akan membuat kecewa rakyat Aceh,tetapi akan memunculkan ”GAM-GAM baru” yang lebih radikaldibanding sebelumnya. Untuk itu kita harus belajar dari sejarah. Apayang sudah kita janjikan harus kita tepati. Sebab MoU Aceh Damaiadalah kado Ulang Tahun RI ke-60 yang tidak ternilai harganya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

|| | Copyright 2012 By : SEJARAH INDONESIA | Created By : Binkbenks ||